materi kuliah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan sebuah ilmu sangat ditentukan oleh kemampuannya menjawab berbagai masalah-masalah sosial dan alam yang menjadi bidang garapannya. Semakin fungsional sebuah ilmu- dalam arti mampu menjalankan sekurang-kurangnya lima fungsi utama ilmu – akan semakin banyak pendukungnya. Hal tersebut pada gilirannya akan mendorong semakin banyak orang yang mempelajari dan menghasilkan teori maupun konsep baru. Sebaliknya, apabila sebuah ilmu tidak fungsional dalam menjawab kebutuhan masyarakat, maka ilmu tersebut akan ditinggalkan oleh masyarakat dan akhirnya akan mati.
Kemampuan suatu ilmu untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat akan sangat tergantung pada epistemologinya, karena salah satu hal yang membedakan antara ilmu satu dengan ilmu lainnya adalah dari segi metodologinya
Demikian juga halnya dengan Ilmu Pemerintahan. Dari berbagai literature dapat lihat bahwa bahwa pemerintahan disamping sebagai sebuah pengetahuan (knowledge) adalah sekaligus juga meruapakan sebuah kemahiran (know-how). Karena itu Ilmu Pemerintahan diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan manusia, termasuk dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dewasa ini.
Gelombang perubahan yang melanda Indonesia pasca jatuhnya pemerintahan orde baru, membuka wacana dan gerakan baru diseluruh aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam dunia pemerintahan. Semangat yang menyala-nyala untuk melakukan reformasi, bahkan cennderung melahirkan euphoria, memberikan energi yang luar biasa bagi bangkintya kembali wacana otonomi daerah, setelah hampir sepertiga abad ditenggelamkan oleh rezim otoritarian orde baru dengan politik stick and carrot-nya (Sri Budi Santoso : 2000). Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Marsdiasmo (1999), menyatakan bahwa tuntutan seperti itu adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah , Kedua, tuntutan pemberian otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa akan datang.
Dalam sejarah perkembangannya kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengikuti pola seperti pada bandul jam yaitu beredar antara sangat sentralistik dan sangat desentarlistik. Apabila kebijakan yang dilaksanakan sangat sentralistik maka bandulnya akan ditarik kembali kepada arah titik keseimbanganm desentralistik demikian pula sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dengan mengikuti perkembangan pelaksanaan otonomi daerah melalui peraturan perundang-undangan yang mengaturnya mulai dari UU nomor 1 tahun 1945 sampai dengan UU Nomor 22 tahun 1999.
Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di bidang pemerintahan. Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama, tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran infrastruktur dan suprastruktur politik. Kedua, tujuan administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan serta murah. Ketiga, tujuan social ekonomi, yakni meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.
Dalam malakah ini mencoba untuk membahas sejarah perkembangan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai dengan era reformasi sekarang ini dengan melihat oelaksanaan undang-undang otonomi daearh dalam era tersebut. untuk dapat membedakan pelaksanaan otonomi daerah pada masing-masing undang-undang maka kami akan mengakajinya dari sudut sisitem yang digunakan. Kemudian untuk memudahkan pemahamannya maka dalam penulisan makalah ini kami membaginya menjadi dua bagian. Pada bagian pertama kami akan mengakaji tentang system otonomi daerah. Sedangkan pada bagian kedua mengkaji tentang perkembangan system yang digunakan pada masing-masing Undang-Undang otoniomi daerah yang pernah digunakan sepanjang sejarah Republik Indonesia

B. Tujuan Penyusunan Makalah
Adapun tujuan penulis makalah tentang sistem pemerintahan daerah adalah Untuk mengetahui tujuan umum dari otonomi daerah itu sendiri dan sistem pemerintahan yang berlaku di dalamnya.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan diatas penyusun bisa merumuskan hal-hal yang dibahasa dalam makalah ini. Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut :
a) Pengertian otonomi daerah
b) Otonomi daerah dan desentralisasi
c) Visi otonomi daerah
d) Konsep dasar otonomi daerah
e) Otonomi daerah menjadi pilihan, setelah orde lama dan orde baru
f) Bahaya di balik otonomi daerah









BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
B. Otonomi Daerah Dan Desentralisasi
Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan system penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara aduk.
1. Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara Negara, sedangakan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.
2. Otonomi dalam arti sempit dapat diartikan mandiri sedangkan dalam makna luas sebagai berdaya. Jadi otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
C. Visi Otonomi Daerah
1. Politik: Harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya Kepala Pemerintahan Daerah yang dipilh secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsife;
2. Ekonomi: Terbukanya peluang bagi pemerintah di daerah mengembangkan kebijakan regional dan local untuk mengoptimalkan lpendayagunaan potensi;
3. Sosial: Menciptkan kemampuan masyarakat untukmerespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
D. Konsep Dasar Otonomi Daerah
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah;
2. Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat local dalam pemilihan dan penetapan Kepala Daerah;
3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur berkualitas tinggi dngan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula;
4. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif;
5. Peningkatan efisiensi administrasi keungan daerah;
6. Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah;
7. Pemberian keleluasaan kepala daerah dan optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.
E. Otonomi Daerah Menjadi Pilihan, Setelah Orde Lama Dan Orde Baru
Ada beberapa alasan mengapa otonomi daerah menjadi pilihan, setelah orde lama dan orde baru pola pemerintahan sentralistik demikian kuatnya. Diantaranya :
1. Pemerintah sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai “ sapi perahan” pemerintah pusat. Mereka lebih banyak dibebani kewajiban-kewajiban untuk menyetorkan segala potensi kekayaan alamnya ke pusat tanpa reserve, disisi lain hak-hak daerah untuk mendapatkan kue bagi pembangunan sering terabaikan.
2. Tradisi sentralistik kekuasaan melahirkan ketimpangan antara pembangunan di pusat dan daerah, sehingga pemicu ketidakadilan dan ketidaksejahteraan di berbagai daerah, terutama yang jauh dari jangkauan pusat. Daerah yang kaya sumber daya alam tak menjamin rakyatnya sejahtera karena sumber kekayaannya disedot oleh pusat. Seperti Aceh yang memiliki potensi gas alam terbesar di dunia, rakyatnya hanya gigit jari ditengah riuhnya eksplorasi gas oleh Exxon Mobile. Rakyat Papua juga merana ditengah gelimpangan emas yang digali Freeport yang hanya meninggalkan jejak berupa kerusakan lingkungan.
3. Pola sentralistik menyebabkan pemerintah pusat sewenang-wenang kepada daerah. Misalnya menerapkan regulasi yang ketat sehingga mematikan kreatifitas daerah dalam membangun. Budaya minta petunjuk ke pusat tertanam kuat sehingga proses pembangunan di daerah berjalan lamban dan kepengurusan kepentingan rakyat terabaikan.
4. Otonomi diharapkan menjadi freedom atas tuntutan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari NKRI, sebagai ekspresi ketidakpercayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Atas daerah buruknya penerapan sistem pemerintahan sentralistik diatas itulah maka otonomi daerah diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat. Namun benarkah otonomi daerah adalah solusi terbaik yang menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat?
F. Bahaya Di Balik Otonomi Daerah
Otonomi daerah bukanlah solusi, melainkan justru menimbulkan masalah baru. Regulasi yang belum mapan karena masih terjadi tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah, dimana daerah belum seluruhnya mendapat aturan pelaksana dari UU yang ada dan pemerintah yang setengah hati memberi kewenangan kepada daerah, menyebabkan kelemahan dalam penerapan otonomi daerah. Jika hal ini dibiarkan, akan semakin membahayakan bagi kelangsungan hidup rakyat Indonesia. Berikut ini diantara bahaya di balik diterapkannya otonomi daerah:
1. Strategi Demokratisasi
Diterapkannya otonomi daerah di Indonesia sejak era reformasi, tak lepas dari kepentingan asing, yakni sekularisme global. Wacana otonomi daerah (diusung Ryas Rasyid) muncul bersamaan dengan ide federalisme (diusung Amin Rais). Wacana itu mencuat berkat profokasi pihak barat. Para pakar asing menilai bahwa Negara dengan wilayah yang begitu luas dan penduduk yang sangat majemuk, seperti Indonesia haruslah meletakkan federalisme sebagai pilihan untuk mencegah terjadinya konflik kesukuan atau daerah. Namun karena istilah federalisme dikhawatirkan justru memicu berdirinya negara-negara baru di daerah-daerah, maka gagasan otonomi daerahlah yang kemudian lebih popular. Meskipun sudah dijelaskan bahwa federasi dengan otonomi daerah tipis perbedannya.
2. Kapitalisasi Ekonomi
Otonomi daerah juga tak lepas dari kepentingan ekonomi kapitalis global. Di berbagai negeri, kepentingan- kepentingan swasta senantiasa mendorong terjadinya pelimpahan wewenang ke daerah. Semua ini dilakukan untuk mendorong masuknya kepentingan swasta yang nantinya diharapkan bisa memberikan devisa yang banyak bagi kas daerah dan pusat.
Otonomi daerah memungkinkan sebuah provinsi, kabupaten atau kota, menjalin kerjasama internasional secara langsung dengan pihak asing. Misalnya DKI dengan Sydney, Bogor dengan kota Nanning Cina, dan seterusnya. Bahkan pinjaman ke Bank dunia atau lembaga-lembaga donor Internasional lainnya memungkinkan dilakukan. Dengan demikian akan semakin mengokohkan kapitalisasi ekonomi daerah. Sumber daya alam di daerah tidak hanya disedot oleh pusat, bahkan langsung disedot oleh asing atas nama investasi dengan sangat mudah.
3. Ancaman Disintegrasi
Paham pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah dan daerah kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan antara daerah kaya dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era OTDA tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya. Semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi. Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi, bahkan peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah campur tangan asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa. Melalui OTDA, bantuan-bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke kampung-kampung.
4. Rakyat Jadi Sapi Perah
OTDA mendorong pemerintah daerah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing untuk membiayai pembangunannya sendiri, karena dana dari pusat dibatasi. Dengan batas territorial yang semakin menguat, dikejar oleh tuntutan kebutuhan untuk menarik dana bagi kas daerah, daerah tampak seperti over kreatif. Terlebih lagi daerah yang cenderung minim sumber daya alamnya, rakyat di daerah bersangkutan yang harus menanggung resiko. Pemda akhirnya menerapkan retribusi atau pajak dimana-mana sebagai sumber PAD.
5. Mengokohkan KKN Ke Daerah
Pelimpahan wewenang beberapa masalah dari pusat ke daerah hanya memindahkan KKN dari pusat ke daerah. KKN kini terjadi di tingkat elit daerah. OTDA memunculkan raja-raja baru di daerah, khususnya daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Mereka bergelimang harta dari hasil pengelolaan sumber daya alam dan korupsi harta yang semakin tidak terdeteksi oleh pusat atau memang hasil konspirasi dengan pemerintah pusat. Tentu rakyatlah yang menjadi korban.











BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan diatas penyusun bisa menarik beberapa kesimpulan tentang sistem pemerintahan otonomi daerah di Indonesia :
1. Otonomi Daerah merupakan wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Daerah Otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
3. UU otonomi daerah yang paling lama digunakan adalah UU nomor 5 tahun 1974 hanya tidak dapat digunakan secara maksimal karena sepanjang 25 tahun usianya belum semua peraturan pelaksanaannya dibuat bahkan termasuk UU tentang perimbangan kekuangan antara pusat dan daerah sampai diganttikan oleh UU Nomor 22 tahun 1999. Keadaan ini pada gilirannya membuka kesempatan pada eksekutif untuk melakukan interpretasi sesuai dengan seleranya.
4. Demikian pula dalam pelaksanaan UU Nomor 22 tahun 1999, belum semua peraturan pelaksanaannya dilengkapi sehingga pelaksanaannya tidak dapat dilakukan secara maksimal dan menimbulkan banyak ekses disana sini. Perbedaanya jika dalam UU nomor 5 tahun 1974 peran eksekutif sangat mendominasi maka dalam UU 22 tahun 1999 peran legislative ditunjukkan dengan cukup signifikan.
















DAFTAR PUSTAKA

Sarundajang,S.H, 1999, Arus balik Kekuasaan Pusat Ke daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Soejito, Irawan, 1976, Sejarah Pemerintahan Daerah Di Indonesia jilid 1&2, Pradnya Paramita, Jakarta
Wasistiono, Sadu, 2001, Esensi UU NO.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Bunga Rampai), Alqaprint, Jatinangor

0 komentar:

Posting Komentar