Iyamutoha (Refleksi terhadap Sebuah Nama)

Iyamutoha (Refleksi terhadap Sebuah Nama)
"Apa artinya ntu nama ta dinda..?" secara singkat seorang teman bertanya kepada saya.

"yang mananya kanda..?" tanya balikku untuk memperjelas .

"ntu nama iyamutoha, dinda..?" jawabnya segera.

"itu bahasa bugis yang mirip bahasa jepang, kanda" jawabku guyon.

"npa pake nama mirip jepang ko, na tida' ada muka2 mu mirip jepang" ejeknya.

"justru karena tdk ada miripnya mukaku dengan muka orang jepang, makanya saya kasi mirip nama ku saja, padahal bugis asli tonji, hehe..." elak ku.

"apa sih artinya?" desaknya.

"iyamutoha=saya tonji, kanda" jawabku dengan dialek Makassar tulen.

"npa bede pilih nama itu..?" masih dengan nada penasarannya bertanya.

"apa perlu saya ubah itu nama kanda, kalau memang kita tidak sukai..??" tawaranku nantang.

"akh, tidak dinda, saya hanya penasaran dengan nama itu..." katanya.

"ada alasan filosofisnya, kanda. Nanti kapan2 kalo ketemuki, qta crita2 lah...!!" ajakku santai

"oke lah kalo begitu, dinda. Saya tunggu ki dimakassar...!!" pesannya.

(lokasi diskusi melalui faacebook: warkop bHogeL_net kota lawawoi, 11 Agustus 2008, sekitar pukul 13.30-15.00 Wita)



Seperti itulah penggalan diskusi singkat saya dengan seorang teman di salah satu jejaring sosial (baca: facebook) sekaligus kakak kelasku dulu waktu masih kuliah yang membuat saya mencoba mengungkapkan makna iyamutoha (tentu menurut yang saya pahami) dalam sebuah tulisan singkat ini.



Apabila iyamutoha dibaca oleh orang yang tidak paham bahasa bugis, maka nama tersebut mungkin disangkanya bahwa salah satu kata dalam bahasa Jepang. Tetapi bila yang membacanya adalah orang bugis dan atau yang paham bahasa bugis, maka dengan mudah dapat dipahami bahwa nama tersebut adalah 100% bugis tulen.



Kata iyamutoha berasal dari bahasa bugis yang bisa bermakna saya sendiri, aku pribadi (baca: aku). Iyamutoha juga dapat diartikan dengan "itu juga" atau dalam bahasa Indonesia dengan dialek Makassar biasa dikenal dengan istilah "saya tonji" atau "itu ji juga". (tanyaku dalam hati: "adakah bahasa Indonesiadialek Makassar....??? hehe")



Saya menggunakan kata iyamutoha (baca: iyamutoha uchu) sebagai nama panggilan akrab di beberapa jejaring sosial (salah satunya facebook) terinspirasi dari salah satu filosofi bugis yang berbunyi "dua temmallaiseng, tellu temmassarang" (artinya "dua tidak berbeda, tiga tidak terpisahkan). Kalimat "dua temmalaiseng, tellu temmassarang" itulah yang menyatu pada iyamutoha. Iyamutoha sangat popular dengan istilah two in one (2 in 1) dan atau three in one (3 in 1) dalam bahasa iklan berbagai produk yang biasa ditayangkan di televisi.



Konon ceritanya, filosofi kalimat "dua temmassarang, tellu temmallaiseng" adalah sebuah ungkapan dari upaya para panrita bugis (baca: orang yang dianggap memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hakikat ajaran Islam) untuk memahami realitas Tuhan sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan. Bahwa relitas manusia bukanlah suatu realitas yang terpisah dan berbeda dengan realitas Tuhan. Meski terdapat perbedaan penafsiran di antara para panrita bugis terhadap filosofi tersebut, namun bagi sebagian orang telah memahaminya sebagai sebuah keyakinan yang sulit untuk digoyahkan karena diperoleh berdasarkan pengalaman rohani mereka.



Iyamutoha mengisyaratkan kesatuan wujud. Satu yang tak berbilang dan satu bukan angka. Satu adalah tunggal atau esa. Frase "dua temmallaiseng" dalam tafsir keyakinan menganggap bahwa antara Tuhan dan manusia bukanlah dua wujud yang berbeda. Bahwa manusia secara fitrah, memiliki potensi dasar untuk mencerap sifat keTuhanan, meski dalam perkembangan kehidupannya, sebagian dari mereka mengabaikan potensi dasar tersebut. Sedangkan frase "tellu temmassarang" dalam kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa Tuhan tak pernah terpisahkan dengan hambaNya. Sebagaimanatak terpisahnya antara yang memiliki nama dan nama itu sendiri.

Meskipun demikian, kita mampu mengenali bahwa ada sang pemilik nama dan namanya tersebut.



Iyamutoha secara filosofis menunjukkan keesaan wujud (keberadaan) dan itu yang sangat sejalan dengan konsep Tauhid yang pernah dibawakan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Thaha ayat 14 yang artinya: "inilah iyamutoha (baca: AKU) ALLAH, Tiada Tuhan selain iyamutoha, maka mengabdilah kepada iyamutoha dan dirikanlah shalat untuk mengingat iyamutoha".



Tulisan ini tidaklah membahas secara rinci tentang filosofi tersebut, selain karena keterbatasan referensi yang saya miliki tentang hal itu, juga karena sampai saat ini saya belum yakin atas kebenaran pemahaman saya tentang filosofi tersebut. Mudah-mudahan suatu saat nanti, akan ada tulisan yang bisa membahasnya secara mendetail tentang filosofi tersebut. Pembahasan singkat tentang filosofi tersebut sekedar pengantar bahwa nama iyamutoha uchu terinspirasi dari filosofi bugis tersebut.



Sebagaimana lazimnya sebuah nama yang mengandung harapan dandoa dari nama tersebut, demikian halnya dengan nama iyamutoha (iyamutoha uchu, red). Selain itu, penggunaan nama iyamutoha tersebut dimaksudkan sebagai sebuah bentuk upaya menggali nilai-nilai kearifan lokal masyarakat bugis. Akhirnya, perkenankan saya mengakhiri tulisan ini dengan harapan dan doa sebgaimana harapan dan doa pada nama iyamutoha uchu tersebut:



"Semoga cinta dan kasih sayang yang ada pada Allah SWT, iyamutoha (baca: itu juga) yang ada pada diri Muammad Yusuf kini dan seluruh makhluk pada umumnya. Semoga kesempurnaan iman dan akhlak yang ada pada diri Rasulullah Muhammad SAW, iyamutoha yang ada pada diri Muhammad Yusuf hari ini dan semua ummat manusia dibumi ini. Semoga kesabaran yang ada pada diri Nabi Yusuf As, iyamutoha yang ada pada Muhammad Yusuf saat ini dan juga kepada mereka baik yang sempat membaca maupun yang belum sempat membaca tulisan ini. Semoga kedalaman ilmu yang ada pada diri Ali ibnu AbiThalib Karrammalhu Wajha, iyamutoha yang ada pada Muhammad Yusuf dan kita sekalian. Semoga kearifan yang ada pada semua kekasih-kekasih Allah dari awal sampai akhir zaman, iyamutoha yang ada pada diri saya dan anda semuanya. Semoga ketulusan hati yangada pada diri pembaca sekalian, iyamutoha yang ada pada penulis tulisan ini. Aminya Allah ya Robbal Alamiinnn..........!!!!"



Sekian dan salam damai di hati selalu

TEORI-TEORI YANG MEMPENGARUHI MODEL KEBIDANAN

TEORI-TEORI YANG MEMPENGARUHI MODEL KEBIDANAN
Januari 21, 2009 at 5:52 pm (Uncategorized)

2.1 Teori Reva Rubin
Menekan pada pencapaian peran sebagai ibu, untuk mencapai peran ini seorang wanita memerlukan proses belajar melalui serangkaian aktivitas atau latihan. Dengan demikian, seorang wanita terutama calon ibu dapat mempelajari peran yang akan di alaminya kelak sehingga ia mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi khususnya perubahan psikologis dalam kehamilan dan setelah persalinan.
Menurut Reva Rubin, seorang wanita sejak hamil sudah memiliki harapan-harapan antara lain:
a. kesejahteraan ibu dan bayi
b. penerimaan dari masyarakat
c. penentuan identitas diri
d. mengetahui tentang arti memberi dan menerima
perubahan umum pada perempuan hamil:
•ketergantungan dan butuh perhatian
•membutuhkan sosialisasi
Tahap_tahap psikologis yang biasa dilalui oleh calon ibu dalam mencapai peran nya:
a. anticipatory stage
seorang ibu mulai melakukan latihan peran dan memerlukan interaksi dengan anak yang lain.
b. honeymoon stage
ibu mulai memahami sepenuhnya peran dasar yang dijalaninya. Pada tahap ini ibu memerlukan bantuan dari anggota keluarga yang lain.
c. Plateu stage
Ibu akan mencoba apakah ia mampu berperan sebagai seorang ibu. Pada tahap ini ibu memerlukan waktu beberapa minggu sampai ibu kemudian melanjutkan sendiri.
d. Disengagement
Merupakan tahap penyelesain latihan peran sudah berakhir.
Aspek-aspek yang diidentifikasi dalam peran ibu adalah gambaran tentang idaman, gambaran diri dan tubuh. Gambaran diri seorang wanita adalah pandangan wanita tentang dirinya sendiri sebagai bagian dari pengalaman dirinya, sedangkan gambaran tubuh adalah berhubungan dengan perubahan fisik yang tejadi selama kehamilan.
Arti dan efek kehamilan pada pasangan.
1. pasangan merasakan perubahan tubuh pasanganya pada kehamilan 8 (delapan) bulan sampai dengan 3(tiga) bulan setelah melahirkan.
2. lelaki juga mengalami perubahan fisik dan psikososial selama wanita hamil.
3. anak-anak akan di lahirkan merupakan gabungan dari tiga macam perbedaan:
a. hubungan ibu dengan pasangan
b. hubungan ibu dengan janin yang berkembang
c. hubungan ibu dengan individu yang unik
4. ibu tidk pernah lagi menjadi sendiri
5. tugas yang harus di lakukan ibu atau pasangan dalam kehamilan:
a. percaya bahwa ia hamil dan berhubungan dengan janin dalam satu tubuh
b. persiapan terhadap pemisahan secara fisik pada kelahiran janin
c. penyelesaiaan dan identifikasi kebinggungan dengan peran transisi.
6. reaksi yang umum pada kehamilan:
a. Trimester satu:ambivalen, takut, tantasi, khawatir.
b. Trimester dua: parasaan enak metykebutuhan untuk mempelajari perkembangan dan pertumbuhan janin menjadi narsistik, pasif, introvent, egosentrik dan self centered.
c. Trimester tiga: berperasaan aneh, semberono, jelek, menjadi introvert, merefleksikan terhadap pengalaman masa kecil.
Aspek yang di identifikasi dalam peran ibu:
a. gambaran tentang idaman bayi sehat.
b. gambaran tentang diri memandang tentang pengalaman yang dia lakukan.
c. gambaran tubuh, gambaran ketika hamil dan setelah nifas.
Beberapa tahapan aktifitas penting sebelim seseorang menjadi seorang ibu.
1. Taking on (tahapan meniru)
Seorang wanita dalam pencapaiaan sebagai ibu akan memulainya dengan meniru dan melakukan peran seorang ibu.
1. Taking in
Seorang wanita sedang membayangkan peran yang dilakukannya . introjektion, projection dan rejection merupakan tahap di mana wanita membedakan model-model yang sesuai dengan keinginannya.
1. Letting go
Wanita mengingat kembali proses dan aktifitas yang sudah di lakukannya. Pada tahap ini seorang akan meninggalkan perannya di masa lalu.
Adaptasi psikososial pada masa post partum:
Keberhasilan masa transisi menjadi orang tua pada masa post partum di pengaruhi oleh:
a.
a. respon dan dukungan dari keluarga
b. hubungan antara melahirkan dengan harapan-harapan
c. pengalaman melahirkan dam membesarkan anak yang lalu
d. budaya
Reva rubin mengklasifikasikan tahapan ini menjadi tiga tahap yaitu:
a. periode taking in (hari pertama hingga kedua setelah melahirkan)
1. ibu masih pasif dan tergantung pada orang lain
2. perhatian ibu tertuju pada ke khawatiran pada perubahan tubuhnya
3. ibu akan mengulangi pengalaman-pengalaman ketika melahirakan
4. memerlikan ketenangan dalam tidur untuk mengembalikan keadaan tubuh kekondisi normal
5. nafsu makan ibu biasanya bertambah sehingga membutuhkan peningkatan nutrisi. Kurangnya nafsu makan menandakan proses pengembalian kondisi tubuh tidak berlangsung normal.
b. periode taking hold (hari kedua hingga ke empat setelah melahirkan)
1. ibu memperhatikan kemampuan menjadi orang tua dan meningkatkan tanggung jawab akan bayinya
2. ibu memfokuskan perhatian pada pengontrolan fungsi tubuh, BAK, BAB dan daya tahan tubuh
3. ibu cenderung terbuka menerima nasihat bidan dan kritikan pribadi
4. ibu berusaha untuk menguasai keterampilan merawat bayi seperti menggendong, menyusui, memandikan dan mengganti popok
5. kemungkinan ibu mengalami depresi postpartum karena merasa tidak mampu membesarkan bayinya
c. periode letting go
1. terjadi setelah ibu pulang ke rumah dan di pengaruhi oleh dukungan serta perhatian keluarga
2. ibu sudah mengambil tanggung jawab dalam merawat bayi dan memahami kebutuhan bayi sehingga akan mengurangi hak ibu dalam kebebasan dan hubungan social
2.2 Teori Ramona Marcer
Teori ini lebih menekan pada stress antepartum (sebelum melahirkan) dalam pencapaiaan peran ibu, marcer membagi teorinya menjadi dua pokok bahasan:
a. Efek stress Anterpartum
stress Anterpartum adalah komplikasi dari resiko kehamilan dan pengalaman negative dari hidup seorang wanita, tuuan asuhan yang di berikan adalah : memberikan dukungan selama hamil untuk mengurangi ketidak percayaan ibu.
Penilitian mercer menunjukkan ada enam faktor yang berhubungan dengan status kesehatan ibu, yaitu:
1. Hubungan Interpersonal
2. Peran keluarga
3. Stress anterpartum
4. Dukungan social
5. Rasa percaya diri
6. Penguasaan rasa takut, ragu dan depresi
Maternal role menurut mercer adalah bagai mana seorang ibu mendapatkan identitas baru yang membutuhkan pemikiran dan penjabaran yang lengkap dengan dirinya sendiri.
b. Pencapaian peran ibu
Peran ibu dapat di capai bila ibu menjadi dekat dengan bayinya termasuk mengekspresikan kepuasan dan penghargaan peran, lebih lanjut mercer menyebutkan tentang stress anterpartum terhadap fungsi keluarga, baik yang positif ataupun yang negative. Bila fungsi keluarganya positif maka ibu hamil dapat mengatasi stress anterpartum, stress anterpartum karena resiko kehamilan dapat mempengaruhi persepsi terhadap status kesehatan, dengan dukungan keluarga dan bidan maka ibu dapat mengurangi atau mengatasi stress anterpartum.
Perubahan yang terjadi pada ibu hamil selama masa kehamilan (Trisemester I, II dan III) merupakan hal yang fisiologis sesuai dengan filosofi asuhan kebidanan bahwa menarche, kehamilan, nifas, dan monopouse merupakan hal yang fisiologis.
Perubahan yang di alami oleh ibu, selama kehamilan terkadang dapat menimbulkan stress anterpartum, sehingga bidan harus memberikan asuhan kepada ibu hamil agar ibu dapat menjalani kehamilannya secara fisiologis (normal), perubahan yang di alami oleh ibu hamil antara lain adalah:
a. Ibu cenderung lebih tergantung dan lebih memerlukan perhatian sehingga dapat berperan sebagai calon ibu dan dapat memperhatikan perkembangan bayinya.
b. ibu memerlukan sosialisasi
c. ibu cenderung merasa khawatir terhadap perubahan yang terjadi
pada tubuhnya
d. Ibu memasuki masa transisi yaitu dari masa menerima kehamilan kehamilan ke masa menyiapkan kelahiran dan menerima bayinya.
Empat tahapan dalam melaksanakan peran ibu menuru Mercer:
a. Anticipatory
Saat sebelum wanita menjadi ibu, di mana wanita mulai melakukan penyesuaian social dan psikologis dengan mempelajri segala sesuatuyang di butuhkan untuk menjadi seorang ibu.
b. Formal
Wanita memasuki peran ibu yang sebenarnya, bimbingan peran di butuhkan sesuai dengan kondisi system social
c. Informal
Di mana wanita telam mampu menemukan jalan yang unik dalam melaksanakan perannya
d. Personal
merupakan peran terakhir, di mana wanita telah mahir melakukan perannya sebagai ibu.
Sebagai bahan perbandingan, Reva Rubin menyebutkan peran ibu telah di mulai sejak ibu menginjak kehamilan pada masa 6 bulan setelah melahirkan, tetapi menurut Mercer mulainya peran ibu adalah setelah bayi bayi lahir 3-7 bulan setelah dilahirkan.
Wanita dalam menjalankan peran ibu di pengaruhi oleh faktor –faktor sebagai berikut:
a. Faktor ibu
1. Umur ibu pada saat melahirkan
2. Persepsi ibu pada saat melahirkan pertama kali
3. Stress social
4. Memisahkan ibu pada anaknya secepatnya
5. Dukungan social
6. Konsep diri
7. Sifat pribadi
8. Sikap terhadap membesarkan anak
9. Status kesehatan ibu.
b. Faktor bayi
1. Temperament
2. Kesehatan bayi
c. Faktor-faktor lainnya
1. Latar belakang etnik
2. Status pekawinan
3. Status ekonomi
Dari faktor social support, mercer mengidentifikasikan adanya empat factor pendukung:
a. Emotional support
Yaitu perasaan mencintai, penuh perhatian, percaya dan mengerti.
b. Informational support
Memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan ibu sehingga dapat membantu ibu untuk menolong dirinya sendiri
c. Physical support
Misalnya dengan membantu merwat bayi dan memberikan tambahan dana
d. Appraisal support
Ini memungkinkan indifidu mampu mengevaluasi dirinya sendiri dan pencapaiaan peran ibu
Mercer menegaskan bahwa umur, tingkat pendidikan, ras, status perkawinan, status ekonomi dan konsep diri adalah faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam pencapaiaan peran ibu. Peran bidan yang di harapkanoleh mercer dalam teorinya adalah membantu wanita dalam melaksanakan tugas dan adaptsi peran dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaiaan peran ini dan kontribusi dari stress antepartum.
2.4 Teori Ernestine Wiedenbach
a. The agent : mid wife
Filosofi yang di kemukakan adalah tentang kebutuhan ibu dan bayi yang segera untuk mengembangkan kebutuhan yang lebih luas yaitu kebutuhan untuk persipan menjadi orang tua.
b. The recipient
Meliputi : wanita, keluarga dan masyarakat. Recipient menurut Widenbach adalah individu yang mampu menetukan kebutuhannya akan bantuan.
c. The Goal / purpose
Di sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu dengan memperhatikan tingkah laku fisik, emosional atau fisioogikal
d. The Means
Metode untuk mencapai tujuan asuhan kebidanan ada empat tahapan yaitu:
1. Identifikasi kebutuhan klient, memerlukan keterampilan dan ide
2. Memberikan dukungan dalam mencapai pertolongan yang di butuhkan (ministration)
3. Memberikan bantuan sesuai kebutuhan (validation)
4. Mengkoordinasi tenaga yang ada untuk memberikan bantuan (coordination)
5. The frame work meliputi lingkungan sosial, organisasi dan profesi.

materi kuliah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan sebuah ilmu sangat ditentukan oleh kemampuannya menjawab berbagai masalah-masalah sosial dan alam yang menjadi bidang garapannya. Semakin fungsional sebuah ilmu- dalam arti mampu menjalankan sekurang-kurangnya lima fungsi utama ilmu – akan semakin banyak pendukungnya. Hal tersebut pada gilirannya akan mendorong semakin banyak orang yang mempelajari dan menghasilkan teori maupun konsep baru. Sebaliknya, apabila sebuah ilmu tidak fungsional dalam menjawab kebutuhan masyarakat, maka ilmu tersebut akan ditinggalkan oleh masyarakat dan akhirnya akan mati.
Kemampuan suatu ilmu untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat akan sangat tergantung pada epistemologinya, karena salah satu hal yang membedakan antara ilmu satu dengan ilmu lainnya adalah dari segi metodologinya
Demikian juga halnya dengan Ilmu Pemerintahan. Dari berbagai literature dapat lihat bahwa bahwa pemerintahan disamping sebagai sebuah pengetahuan (knowledge) adalah sekaligus juga meruapakan sebuah kemahiran (know-how). Karena itu Ilmu Pemerintahan diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan manusia, termasuk dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dewasa ini.
Gelombang perubahan yang melanda Indonesia pasca jatuhnya pemerintahan orde baru, membuka wacana dan gerakan baru diseluruh aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam dunia pemerintahan. Semangat yang menyala-nyala untuk melakukan reformasi, bahkan cennderung melahirkan euphoria, memberikan energi yang luar biasa bagi bangkintya kembali wacana otonomi daerah, setelah hampir sepertiga abad ditenggelamkan oleh rezim otoritarian orde baru dengan politik stick and carrot-nya (Sri Budi Santoso : 2000). Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Marsdiasmo (1999), menyatakan bahwa tuntutan seperti itu adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah , Kedua, tuntutan pemberian otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa akan datang.
Dalam sejarah perkembangannya kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengikuti pola seperti pada bandul jam yaitu beredar antara sangat sentralistik dan sangat desentarlistik. Apabila kebijakan yang dilaksanakan sangat sentralistik maka bandulnya akan ditarik kembali kepada arah titik keseimbanganm desentralistik demikian pula sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dengan mengikuti perkembangan pelaksanaan otonomi daerah melalui peraturan perundang-undangan yang mengaturnya mulai dari UU nomor 1 tahun 1945 sampai dengan UU Nomor 22 tahun 1999.
Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di bidang pemerintahan. Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama, tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran infrastruktur dan suprastruktur politik. Kedua, tujuan administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan serta murah. Ketiga, tujuan social ekonomi, yakni meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.
Dalam malakah ini mencoba untuk membahas sejarah perkembangan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai dengan era reformasi sekarang ini dengan melihat oelaksanaan undang-undang otonomi daearh dalam era tersebut. untuk dapat membedakan pelaksanaan otonomi daerah pada masing-masing undang-undang maka kami akan mengakajinya dari sudut sisitem yang digunakan. Kemudian untuk memudahkan pemahamannya maka dalam penulisan makalah ini kami membaginya menjadi dua bagian. Pada bagian pertama kami akan mengakaji tentang system otonomi daerah. Sedangkan pada bagian kedua mengkaji tentang perkembangan system yang digunakan pada masing-masing Undang-Undang otoniomi daerah yang pernah digunakan sepanjang sejarah Republik Indonesia

B. Tujuan Penyusunan Makalah
Adapun tujuan penulis makalah tentang sistem pemerintahan daerah adalah Untuk mengetahui tujuan umum dari otonomi daerah itu sendiri dan sistem pemerintahan yang berlaku di dalamnya.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan diatas penyusun bisa merumuskan hal-hal yang dibahasa dalam makalah ini. Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut :
a) Pengertian otonomi daerah
b) Otonomi daerah dan desentralisasi
c) Visi otonomi daerah
d) Konsep dasar otonomi daerah
e) Otonomi daerah menjadi pilihan, setelah orde lama dan orde baru
f) Bahaya di balik otonomi daerah









BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
B. Otonomi Daerah Dan Desentralisasi
Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan system penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara aduk.
1. Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara Negara, sedangakan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.
2. Otonomi dalam arti sempit dapat diartikan mandiri sedangkan dalam makna luas sebagai berdaya. Jadi otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
C. Visi Otonomi Daerah
1. Politik: Harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya Kepala Pemerintahan Daerah yang dipilh secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsife;
2. Ekonomi: Terbukanya peluang bagi pemerintah di daerah mengembangkan kebijakan regional dan local untuk mengoptimalkan lpendayagunaan potensi;
3. Sosial: Menciptkan kemampuan masyarakat untukmerespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
D. Konsep Dasar Otonomi Daerah
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah;
2. Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat local dalam pemilihan dan penetapan Kepala Daerah;
3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur berkualitas tinggi dngan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula;
4. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif;
5. Peningkatan efisiensi administrasi keungan daerah;
6. Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah;
7. Pemberian keleluasaan kepala daerah dan optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.
E. Otonomi Daerah Menjadi Pilihan, Setelah Orde Lama Dan Orde Baru
Ada beberapa alasan mengapa otonomi daerah menjadi pilihan, setelah orde lama dan orde baru pola pemerintahan sentralistik demikian kuatnya. Diantaranya :
1. Pemerintah sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai “ sapi perahan” pemerintah pusat. Mereka lebih banyak dibebani kewajiban-kewajiban untuk menyetorkan segala potensi kekayaan alamnya ke pusat tanpa reserve, disisi lain hak-hak daerah untuk mendapatkan kue bagi pembangunan sering terabaikan.
2. Tradisi sentralistik kekuasaan melahirkan ketimpangan antara pembangunan di pusat dan daerah, sehingga pemicu ketidakadilan dan ketidaksejahteraan di berbagai daerah, terutama yang jauh dari jangkauan pusat. Daerah yang kaya sumber daya alam tak menjamin rakyatnya sejahtera karena sumber kekayaannya disedot oleh pusat. Seperti Aceh yang memiliki potensi gas alam terbesar di dunia, rakyatnya hanya gigit jari ditengah riuhnya eksplorasi gas oleh Exxon Mobile. Rakyat Papua juga merana ditengah gelimpangan emas yang digali Freeport yang hanya meninggalkan jejak berupa kerusakan lingkungan.
3. Pola sentralistik menyebabkan pemerintah pusat sewenang-wenang kepada daerah. Misalnya menerapkan regulasi yang ketat sehingga mematikan kreatifitas daerah dalam membangun. Budaya minta petunjuk ke pusat tertanam kuat sehingga proses pembangunan di daerah berjalan lamban dan kepengurusan kepentingan rakyat terabaikan.
4. Otonomi diharapkan menjadi freedom atas tuntutan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari NKRI, sebagai ekspresi ketidakpercayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Atas daerah buruknya penerapan sistem pemerintahan sentralistik diatas itulah maka otonomi daerah diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat. Namun benarkah otonomi daerah adalah solusi terbaik yang menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat?
F. Bahaya Di Balik Otonomi Daerah
Otonomi daerah bukanlah solusi, melainkan justru menimbulkan masalah baru. Regulasi yang belum mapan karena masih terjadi tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah, dimana daerah belum seluruhnya mendapat aturan pelaksana dari UU yang ada dan pemerintah yang setengah hati memberi kewenangan kepada daerah, menyebabkan kelemahan dalam penerapan otonomi daerah. Jika hal ini dibiarkan, akan semakin membahayakan bagi kelangsungan hidup rakyat Indonesia. Berikut ini diantara bahaya di balik diterapkannya otonomi daerah:
1. Strategi Demokratisasi
Diterapkannya otonomi daerah di Indonesia sejak era reformasi, tak lepas dari kepentingan asing, yakni sekularisme global. Wacana otonomi daerah (diusung Ryas Rasyid) muncul bersamaan dengan ide federalisme (diusung Amin Rais). Wacana itu mencuat berkat profokasi pihak barat. Para pakar asing menilai bahwa Negara dengan wilayah yang begitu luas dan penduduk yang sangat majemuk, seperti Indonesia haruslah meletakkan federalisme sebagai pilihan untuk mencegah terjadinya konflik kesukuan atau daerah. Namun karena istilah federalisme dikhawatirkan justru memicu berdirinya negara-negara baru di daerah-daerah, maka gagasan otonomi daerahlah yang kemudian lebih popular. Meskipun sudah dijelaskan bahwa federasi dengan otonomi daerah tipis perbedannya.
2. Kapitalisasi Ekonomi
Otonomi daerah juga tak lepas dari kepentingan ekonomi kapitalis global. Di berbagai negeri, kepentingan- kepentingan swasta senantiasa mendorong terjadinya pelimpahan wewenang ke daerah. Semua ini dilakukan untuk mendorong masuknya kepentingan swasta yang nantinya diharapkan bisa memberikan devisa yang banyak bagi kas daerah dan pusat.
Otonomi daerah memungkinkan sebuah provinsi, kabupaten atau kota, menjalin kerjasama internasional secara langsung dengan pihak asing. Misalnya DKI dengan Sydney, Bogor dengan kota Nanning Cina, dan seterusnya. Bahkan pinjaman ke Bank dunia atau lembaga-lembaga donor Internasional lainnya memungkinkan dilakukan. Dengan demikian akan semakin mengokohkan kapitalisasi ekonomi daerah. Sumber daya alam di daerah tidak hanya disedot oleh pusat, bahkan langsung disedot oleh asing atas nama investasi dengan sangat mudah.
3. Ancaman Disintegrasi
Paham pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah dan daerah kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan antara daerah kaya dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era OTDA tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya. Semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi. Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi, bahkan peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah campur tangan asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa. Melalui OTDA, bantuan-bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke kampung-kampung.
4. Rakyat Jadi Sapi Perah
OTDA mendorong pemerintah daerah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing untuk membiayai pembangunannya sendiri, karena dana dari pusat dibatasi. Dengan batas territorial yang semakin menguat, dikejar oleh tuntutan kebutuhan untuk menarik dana bagi kas daerah, daerah tampak seperti over kreatif. Terlebih lagi daerah yang cenderung minim sumber daya alamnya, rakyat di daerah bersangkutan yang harus menanggung resiko. Pemda akhirnya menerapkan retribusi atau pajak dimana-mana sebagai sumber PAD.
5. Mengokohkan KKN Ke Daerah
Pelimpahan wewenang beberapa masalah dari pusat ke daerah hanya memindahkan KKN dari pusat ke daerah. KKN kini terjadi di tingkat elit daerah. OTDA memunculkan raja-raja baru di daerah, khususnya daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Mereka bergelimang harta dari hasil pengelolaan sumber daya alam dan korupsi harta yang semakin tidak terdeteksi oleh pusat atau memang hasil konspirasi dengan pemerintah pusat. Tentu rakyatlah yang menjadi korban.











BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan diatas penyusun bisa menarik beberapa kesimpulan tentang sistem pemerintahan otonomi daerah di Indonesia :
1. Otonomi Daerah merupakan wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Daerah Otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
3. UU otonomi daerah yang paling lama digunakan adalah UU nomor 5 tahun 1974 hanya tidak dapat digunakan secara maksimal karena sepanjang 25 tahun usianya belum semua peraturan pelaksanaannya dibuat bahkan termasuk UU tentang perimbangan kekuangan antara pusat dan daerah sampai diganttikan oleh UU Nomor 22 tahun 1999. Keadaan ini pada gilirannya membuka kesempatan pada eksekutif untuk melakukan interpretasi sesuai dengan seleranya.
4. Demikian pula dalam pelaksanaan UU Nomor 22 tahun 1999, belum semua peraturan pelaksanaannya dilengkapi sehingga pelaksanaannya tidak dapat dilakukan secara maksimal dan menimbulkan banyak ekses disana sini. Perbedaanya jika dalam UU nomor 5 tahun 1974 peran eksekutif sangat mendominasi maka dalam UU 22 tahun 1999 peran legislative ditunjukkan dengan cukup signifikan.
















DAFTAR PUSTAKA

Sarundajang,S.H, 1999, Arus balik Kekuasaan Pusat Ke daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Soejito, Irawan, 1976, Sejarah Pemerintahan Daerah Di Indonesia jilid 1&2, Pradnya Paramita, Jakarta
Wasistiono, Sadu, 2001, Esensi UU NO.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Bunga Rampai), Alqaprint, Jatinangor